novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Malangnya, justru ketika uang untuk berangkat berhaji telah terkumpul, nasib berkata lain. Rupanya Allah SWT mendengar doaku. Aku mengetahui mengapa suamiku membenciku. Aku memergokinya memiliki perempuan lain. Bukan hanya satu, tapi ia juga menggoda banyak perempuan. Awalnya aku tak percaya. Sempat aku mengabaikan pesan-pesan mesra di telepon genggamnya yang diakuinya sebagai orang salah kirim.Tapi belakangan, rasa penasaran membuatku mencari tahu, hingga akhirnya aku mendapat pengakuan dari beberapa orang.

Maka terjawablah semua teka-teki mengapa ia lebih suka membiarkanku bekerja di daerah lain dan dengan sukacita menerima semua uang penghasilanku tanpa rasa malu dan bersalah. Itu pula sebabnya ia tak mempedulikanku dan banyak mendiamkanku.

Semua itu membuat hatiku hancur. Aku pun mulai mau mengakui bahwa naluriku yang merasakan hal-hal tak beres dalam rumah tangga kami ternyata benar adanya. Aku mengakui pula, bahwa suamiku bukanlah suami yang baik.

Meski pahit, tapi aku harus mulai mau menerima kenyataan, bahwa apa yang dilakukan suamiku tidaklah benar menurut hukum perkawinan universal maupun hukum agama. Aku telah dikhianati. Kenyataan bahwa suamiku menggoda beberapa perempuan,bahkan hingga pada tahap menjurus pada hubungan badan, telah menghancurkan kepercayaanku padanya. Aku pun merasa terhina. Harga diriku sebagai istri dan perempuan diinjak-injak. Aku mulai tak terima dan putik-putik pemberontakan mu lai bersemi dalam benakku.

Aku mulai bertanya-tanya, kemana perkawinan kami ini akan kubawa? Sementara suamiku bukannya mengakui kesalahan dan meminta maaf, malah berbalik menyerang dan makin memojokkan dan menghinaku. Diamnya makin menjadi-jadi. Ia bahkan mulai tak peduli pada keluargaku yang datang menjenguk kami dan mengata-ngatai orang tuaku. Ya Allah…
Aku, dalam kekalutanku, mulai mengalami stre-ss.Aku terombang-ambing pada keadaan di mana aku menginginkan perceraian tapi aku takut untuk hidup sendiri.Sementara di pihak lain, aku tahu, aku tak lagi bisa mentolerir perbuatan suamiku. Aku membencinya dan hidup bersamanya serta harus melayaninya lahir dan bathin telah bergeser dari kenikmatan menjadi siksaan dan deraan yang membuatku kian sakit dan terpuruk. Bagaimana mungkin aku terus hidup dengan orang yang mengkhianatiku? Yang membohongiku? Yang menyia-nyiakanku?

Tapi perceraian? Ya Allah, aku bahkan tak berani memikirkannya.Tak berani melafazkannya, apalagi melakukannya? Lagipula,bukankah itu perbuatan yang meski halal namun sangat dibenci Allah?
–o0o–
Bercerai atau menderita?
Aku terombang-ambing dalam keadaan tanpa keputusan.Aku takut mengajukan gugatan cerai. Aku terpuruk, tenggelam dalam kekalutan dan kesedihan yang amat sangat. Aku takut mengambil ke-putusan.Akupun memperbanyak doa dan sholat malam, memohon pada Allah agar diberi petunjuk.

Dan memang, Allah Maha Baik dan Mendengar. Aku bertemu dengan seorang laki-laki yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama. Darinya kudengar kalimat ini,

“Bu, dalam perkawinan, kedua belah pihak haruslah berbahagia. Bila satu pihak berbahagia di atas penderitaan pihak lainnya, maka perkawinan itu sudah tak bisa dikatakan baik. Dalam hal ini, perempuan dan laki-laki memiliki hak untuk berbahagia dengan porsi yang sama.”

Kepadanya kuceritakan masalahku. Tentang kemarahan suamiku serta sikap diamnya, ia berkata,

“Kasus ibu termasuk dalam kekerasan rumah tangga.”

Aku terpana.Bagaimana mungkin mendiamkan dan tidak memukul bisa dikatakan kekerasan?

“Suami saya tak pernah memukul saya, Pak. Tidak pernah sama sekali!” bantahku.

“Kekerasan dalam rumah tangga itu bukan cuma tindakan memukul, Bu. Membuat istri merasa tertekan bathinnya, menyakitinya terus menerus dan mengintimidasinya hingga mempengaruhi kondisi kejiwaan dan mentalnya juga disebut kekerasan. Membuat istri merasa khawatir dan ketakutan terus menerus, juga disebut kekerasan.”

Aku diam, mencoba mencerna kata-kata lelaki itu. Harus kuakui, aku memang selalu merasa ketakutan dan khawatir suamiku akan meledak amarahnya hanya karena aku atau pembantuku salah meletakkan barang miliknya, terlambat memberi makan hewan peliharaannya, terlambat membukakan pintu gerbang, atau hal-hal lainnya.

“Sering mengancam, seperti mengancam akan membunuh, menyakiti, dan meneror dengan melontarkan kata-kata ancaman atau menghina dengan kata-kata yang tak pantas hingga membuat pasangan kita merasa tertekan jiwanya dan merasa tak aman, juga disebut kekerasan. Sekarang terserah Ibu. Jika memang masih bisa diperbaiki, sebaiknya diperbaiki. Jika tidak, maka ambillah langkah yang benar. Sebab tinggal dan bertahan dalam rumah tangga yang sudah tak lagi dapat dipertahankan akan membuat semua pihak menderita.”

“Tapi anak-anak saya…..,” kataku terbata.

“Orang seringkah lupa, bahwa rumah tangga yang tak harmonis, jika dibiarkan berlarut-larut juga dapat mempengaruhi anak-anak. Melihat orang tuanya bertengkar setiap hari, tak ada kemesraaan, rumah tangga bagaikan neraka. Apalagi jika banyak terjadi kekerasan, meski tak ada pemukulan, tapi suasana rumah yang selalu tegang dan membuat takut para penghuninya sungguh bukan tempat yang baik bagi anak-anak. Jika keadaan sudah seperti itu, haruskah kita pertahankan meski membawa ke- mudharatan? Coba pikirkan. Saya tak menyuruh bercerai.

Tapi saya ingin Ibu memikirkan kondisi Ibu, dan membuat keputusan yang tepat, sebab Ibulah yang paling tahu kondisinya. Keputusan ada di tangan Ibu.”

“Tapi bagaimana membuktikan hal-hal seperti itu di pengadilan? Saya tak punya bekas pukulan, bahkan tak ada lebam sama sekali untuk dapat dijadikan bukti!” kataku ragu.

“Bu, semua yang Ibu ceritakan pada saya tadi, dapat menjadi alasan yang sangat kuat untuk mengajukan gugatan cerai. Pengadilan Agama tahu apa itu kekerasan dalam rumah tangga. Undang-Undang yang mengaturnya pun ada dan jelas.” lanjut lelaki itu.

Aku terkesiap mendengar kata-katanya. Benarkah?

Suamiku memang beberapa kali melontarkan ancaman akan membunuhku, hingga membuatku takut sendirian bersamanya.

“Pikirkan juga ini, Bu. Dalam Islam, tak dibenarkan seorang suami mengambil hasil jerih payah istrinya. Tidak sepeserpun kecuali atas izin si istri. Apa-apa yang dihasilkan istri adalah haknya dan si istri berhak untuk membelanjakannya sesuka hatinya as alkan di jalan yang benar dan sesuai syariat. Tidakkah Ibu merasa heran dengan tindakan suami Ibu yang mengambil semua milik Ibu? Membeli rumah dan tanah dan mengatasnamakannya dengan namanya sendiri meski semua itu dibeli sepenuhnya dengan uang Ibu? Saya rasa setiap orang setuju bahwa itu adalah perbuatan yang sangat memalukan dan tak bertanggung jawab.”

Aku diam, tapi setiap kata-kata lelaki itu menghujam begitu dalam. Sebab, ia benar.Dan kali ini tak ada jalan bagiku untuk mengelak, untuk membenarkan segala perbuatan suamiku. Apa yang dilakukannya salah dan aku harus mengakuinya.

“Dan itulah kelemahan perempuan, Bu. Jelas-jelas suami sudah berbohong, berkhianat, bahkan ada yang sampai memukul dan menyiksa lahir dan bathin, masih saja tinggal diam. Bahkan baru-baru ini, ada perempuan yang sampai disuruh memotong jempol kakinya oleh suaminya, tapi masih tetap juga ngotot bertahan dalam rumah tangga, padahal je las-jelas suaminya salah.Padahal, Islam memberikan hak kepada perempuan untuk hidup bahagia, dihormati, dihargai, dicintai dan dilindungi. Dan jika hak itu tak diperoleh dari suaminya,maka perempuan bo leh memperjuangkan haknya. Tak ada yang salah apalagi dengan itu!”